Apa Itu Keuangan Behavioral?
Sebelum kita lanjut, yuk, kita pahami dulu apa itu keuangan behavioral. Keuangan behavioral adalah cabang dari keuangan yang coba menghubungkan psikologi manusia dengan keputusan-keputusan yang dibuat dalam investasi. Kalau di dunia keuangan tradisional, orang lebih fokus pada data dan teori matematis, di keuangan behavioral, kita coba melihat bagaimana perasaan, bias, dan emosi seseorang bisa memengaruhi cara mereka berinvestasi.
Misalnya nih, kenapa orang bisa takut kehilangan uang, atau kenapa kadang-kadang orang jadi terlalu yakin banget dengan pilihan investasinya. Semua itu ada penjelasan psikologisnya, dan itulah yang coba dipelajari dalam keuangan behavioral.
Keuangan Behavioral vs Keuangan Tradisional
Keuangan tradisional biasanya menganggap bahwa orang itu rasional dan selalu membuat keputusan berdasarkan data yang ada. Jadi, kalau ada angka-angka yang menunjukkan bahwa saham A bakal naik, ya orang pasti bakal beli saham itu, kan? Tapi kenyataannya nggak selalu gitu. Dalam dunia nyata, banyak keputusan investasi yang dipengaruhi oleh emosi, perasaan takut, atau bahkan hanya karena ikut-ikutan orang lain.
Keuangan behavioral lebih berfokus pada fakta bahwa kita sebagai manusia sering kali tidak rasional. Kita cenderung dipengaruhi oleh perasaan dan pola pikir tertentu yang akhirnya memengaruhi keputusan kita, meskipun data dan informasi menunjukkan hal yang berbeda.
Bias Kognitif yang Mempengaruhi Keputusan Investasi
Salah satu hal yang dipelajari dalam keuangan behavioral adalah bias kognitif. Bias ini adalah kecenderungan berpikir yang nggak rasional yang sering kita alami. Dalam dunia investasi, bias kognitif ini bisa sangat berbahaya karena bisa membuat investor membuat keputusan yang salah. Berikut beberapa bias kognitif yang sering muncul dalam investasi:
Loss Aversion (Ketakutan Kehilangan Uang)
Bias ini adalah kecenderungan kita untuk lebih takut kehilangan uang daripada merasa senang ketika mendapat keuntungan yang sama besar. Misalnya, kalau kamu rugi 1 juta, kamu mungkin akan merasa lebih buruk daripada saat kamu untung 1 juta. Bias ini bisa membuat investor terburu-buru menjual saham yang sedang turun, padahal seharusnya mereka bisa menunggu dan melihat apakah harga akan naik lagi.
Overconfidence Bias (Keyakinan Berlebihan)
Bias ini terjadi ketika seseorang merasa terlalu yakin dengan kemampuan dirinya dalam memilih investasi yang tepat. Misalnya, seorang investor mungkin merasa yakin banget bahwa dia tahu saham mana yang bakal naik, meskipun dia nggak benar-benar punya informasi yang cukup. Akibatnya, dia bisa mengambil risiko yang lebih besar dari yang seharusnya.
Anchoring Bias (Bergantung pada Titik Referensi)
Bias ini terjadi ketika kita terlalu terikat pada informasi pertama yang kita dapat. Contohnya, kalau kita pertama kali melihat harga saham A itu 100 ribu, kita akan menganggap harga itu adalah titik referensi, dan kita nggak bisa melihat harga yang sekarang (misalnya 50 ribu) secara objektif. Kita mungkin masih berharap harga saham A akan kembali ke angka 100 ribu, padahal kondisi pasar sudah berubah.
Herd Behavior (Perilaku Mengikuti Kerumunan)
Ini adalah bias di mana kita mengikuti keputusan orang banyak, tanpa benar-benar menganalisis sendiri. Misalnya, kalau banyak orang membeli saham tertentu, kita ikut-ikutan beli meskipun kita nggak tahu banyak tentang saham itu. Kita khawatir ketinggalan, padahal bisa jadi harga sudah melambung tinggi dan ada risiko besar untuk rugi.
Emosi dan Pengaruhnya terhadap Keputusan Investasi
Tentu saja, emosi juga sangat memengaruhi keputusan investasi kita. Bayangin deh, kalau pasar saham lagi bergejolak, atau ada berita buruk tentang perusahaan yang kita investasikan, pasti kita bakal merasa khawatir atau takut. Nah, perasaan-perasaan ini bisa mengubah cara kita bertindak.
- Ketakutan
Saat ada ketakutan akan kehilangan uang, investor bisa bertindak terburu-buru, seperti menjual saham yang sedang turun dengan harapan bisa meminimalisir kerugian. Padahal, hal ini belum tentu jadi keputusan yang tepat.
- Keserakahan
Di sisi lain, ketika pasar sedang naik dan banyak orang mulai membeli saham, kita mungkin merasa ingin ikut membeli juga, padahal belum tentu itu adalah waktu yang tepat. Perasaan ingin cepat kaya atau “terlambat” bisa mendorong kita untuk mengambil keputusan yang gegabah.
- Kecemasan
Terkadang, rasa cemas juga bisa membuat investor nggak nyaman dengan investasi mereka dan akhirnya malah menjual saham yang sebenarnya masih bisa bertahan dalam jangka panjang.
Contoh Kasus: Keputusan Investasi yang Dipengaruhi oleh Keuangan Behavioral
Salah satu contoh nyata tentang keuangan behavioral adalah yang terjadi selama dot-com bubble pada tahun 2000-an. Banyak investor yang terjebak dalam euforia pasar saham dan membeli saham teknologi tanpa memperhitungkan apakah perusahaan itu benar-benar memiliki potensi jangka panjang. Banyak juga yang mengikuti keputusan orang lain karena ingin cepat kaya. Akibatnya, pasar meledak dan banyak yang rugi besar.
Contoh lainnya adalah ketika terjadi krisis finansial global pada tahun 2008. Banyak investor yang panik dan menjual saham mereka karena ketakutan kehilangan uang, padahal jika mereka tetap sabar dan tidak terburu-buru menjualnya, harga saham bisa saja kembali naik setelah beberapa waktu.
Tips Mengatasi Bias dan Emosi dalam Investasi
Kalau kita sadar akan adanya bias dan pengaruh emosi dalam investasi, kita bisa mengelola keputusan kita lebih baik. Berikut beberapa tips yang bisa membantu kamu mengatasi bias dan emosi dalam berinvestasi:
- Tetap Tenang dalam Ketidakpastian
Pasar saham sering mengalami fluktuasi, jadi penting untuk tetap tenang dan tidak membuat keputusan impulsif berdasarkan perasaan sesaat.
- Diversifikasi Portofolio
Jangan menaruh semua uang kamu dalam satu saham saja. Diversifikasi bisa membantu mengurangi risiko dan mengurangi pengaruh perasaan takut atau serakah.
- Buat Rencana Investasi
Tentukan tujuan investasi kamu dan buat rencana yang jelas. Jangan biarkan perasaan atau trend pasar mengubah rencana kamu. Disiplin itu penting!
Kesimpulan
Keuangan behavioral menunjukkan bahwa keputusan investasi kita nggak selalu didorong oleh angka atau data, tapi juga dipengaruhi oleh psikologi kita. Memahami bias kognitif dan pengaruh emosi dalam investasi bisa membantu kita membuat keputusan yang lebih rasional dan menghindari kerugian yang tidak perlu. Dengan mengelola perasaan dan bias kita, kita bisa menjadi investor yang lebih cerdas dan bijaksana!